Rewilding Ekosistem ke Keadaan Semula: Sebuah Jawaban atas Krisis Moral
Membaca Bencana sebagai Krisis Moral Alam-Manusia
Bencana seperti banjir bandang yang melanda beberapa wilayah di Sumatera bukanlah sekadar fenomena fisik, tetapi merupakan peringatan moral yang mendalam. Fenomena ini dapat dibaca melalui lensa Filsafat Ekoteologi, sebuah pendekatan yang menggabungkan etika lingkungan, teologi penciptaan, dan filosofi hubungan manusia-alam. Intinya, alam tidak hanya dilihat sebagai objek, melainkan sebagai mitra eksistensial manusia. Dalam banyak tradisi agama, alam dipandang sebagai ayat, tanda, atau manifestasi kebijakan Ilahi (Eco-Signs). Pelanggaran terhadap alam sama dengan pelanggaran terhadap keteraturan kosmos. Banjir bandang adalah refleksi dari Krisis Ekologi yang pada dasarnya adalah Krisis Spiritualitas, akibat dari korupsi moral manusia, hilangnya rasa syukur dan amanah, serta perubahan orientasi hidup dari keberlanjutan menuju eksploitasi.
Logika Sederhana Bencana Banjir Bandang Sumatera yang Terabaikan
Kasus banjir bandang di Sumatera menunjukkan sebuah logika sederhana yang sering diabaikan dalam kebijakan dan praktik pembangunan. Fakta lapangan umum menunjukkan adanya:
-
Deforestasi massif di hulu sungai.
-
Penambangan emas tanpa izin (PETI).
-
Alih fungsi hutan menjadi kebun sawit.
-
Hilangnya vegetasi penyangga aliran air.
-
Sungai menyempit akibat sedimentasi dan bangunan di bantaran.
Logika Sederhana: Jika hulu rusak -> air tidak terserap -> volume air turun meningkat drastis -> membawa lumpur -> menyapu permukiman -> banjir bandang.
Logika ini diabaikan karena manusia membangun ilusi kontrol, percaya bahwa teknologi, beton, dan rekayasa permukaan cukup untuk menahan daya alam. Padahal, alam bekerja berdasarkan prinsip keseimbangan, bukan kepentingan semata. Bencana ini adalah akibat keserakahan manusia dalam mengelola alam, yang diperburuk oleh pengerukan dan pengundulan massif, serta imbas dari kebijakan pemerintah yang abai.
Mengapa Rewilding Ekosistem Menjadi Penting?
Rewilding adalah praktik pemulihan ekosistem ke kondisi alami kembali, yakni mengembalikan ekosistem ke keadaan semula seperti kondisi sebelum intervensi manusia merusaknya. Ini bukan sekadar menanam pohon, tetapi melibatkan prinsip:
-
Mengembalikan spesies asli (flora dan fauna).
-
Memulihkan aliran air dan sungai ke jalur alaminya.
-
Menghentikan eksploitasi berlebihan di hulu.
-
Menguatkan keanekaragaman hayati sebagai fondasi kestabilan ekologi.
Gagasan rewilding ini muncul sebagai solusi logis karena Indonesia telah kehilangan hutan primer 16+ juta hektare sejak tahun 2000, dan Sumatera secara khusus mengalami deforestasi besar karena ekspansi sawit, tambang, dan pemukiman.
Prinsip "Let Nature Lead" (membiarkan alam memulihkan diri dengan intervensi minimal) dan pentingnya "Keutuhan Sistem" (memulihkan rantai makanan, bukan hanya menanam pohon) adalah kunci untuk restorasi jangka panjang. Rewilding menjadi logis ketika keserakahan manusia melawan hukum alam, dan alam menagih haknya kembali dengan cara yang tidak bersahabat.
Dalil Agama dan Filsafat
Kewajiban untuk menjaga alam sangat ditekankan dalam tradisi agama. Rasulullah ﷺ melarang menebang pohon sembarangan, apalagi dalam skala besar yang berdampak pada makhluk hidup lain.
Dalam kitab Sunan Abu Dawud, terdapat hadis yang dikaji di pesantren NU, yang berbunyi:
من قطع سدرة صوب الله رأسه في النار
"Barangsiapa menebang pohon Sidrah, maka Allah akan menghunjamkan kepalanya ke api neraka.”
Imam Abu Dawud mengomentari hadis ini:
“Maksudnya adalah barang siapa menebang pohon Sidrah di suatu padang secara zalim, yang biasa digunakan bernaung oleh manusia atau hewan, maka Allah akan menghunjamkan kepalanya ke dalam neraka.”
Dalil ini menegaskan bahwa bukan hanya tentang pohon Sidrah atau Bidara, tetapi setiap pohon yang penting keberadaannya bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Kesimpulannya
Gagasan rewilding adalah suatu gagasan yang bagus untuk menjaga alam tetap terawat. Namun, konsep zero mining dan kebijakan yang harus massif pada stakeholder terkait pemberian izin tambang, penebangan, dan kegiatan yang berkaitan dengan alam harus diawasi secara ketat. Kebijakan yang hanya berdasarkan keuntungan semata, yang hanya dinikmati segelintir orang, adalah hal yang tidak memberikan kebaikan. Mengembalikan ekosistem ke keadaan semula adalah tuntutan moral dan spiritual, bukan sekadar proyek fisik, untuk memastikan kehidupan yang berkelanjutan.
Penulis: Ibnu Malik (Wakil DEMA FITK)