Pendidikan, Mahasiswa dan Student Government di Era Society 5.0: Problem dan Tantangan
Mahasiswa, sebagai generasi muda yang sedang menempuh pendidikan tinggi, memiliki peran strategis dalam membentuk masa depan. Mereka tidak hanya berperan sebagai penerima pengetahuan, tetapi juga sebagai agen perubahan yang aktif dalam masyarakat. Student government, di sisi lain, merupakan organisasi yang mewakili kepentingan mahasiswa di institusi pendidikan tinggi, berperan dalam advokasi kebijakan, pengembangan kepemimpinan mahasiswa, dan fasilitasi berbagai kegiatan kemahasiswaan (Klemenčič, 2020).
Perkembangan pendidikan dari awal era revolusi industri hingga saat ini telah mengalami transformasi yang signifikan. Dimulai dari model pendidikan yang berfokus pada standardisasi dan produksi massal tenaga kerja untuk industri, sistem pendidikan telah berevolusi menjadi lebih humanis dan berpusat pada peserta didik. Integrasi teknologi dalam pembelajaran telah membuka peluang baru untuk personalisasi dan aksesibilitas pendidikan yang lebih luas (Schwab, 2016).
Era Society 5.0 muncul sebagai respons terhadap tantangan sosial yang dihadapi oleh masyarakat modern, seperti penuaan populasi, urbanisasi, dan perubahan iklim. Konsep ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang berpusat pada manusia, di mana kemajuan teknologi digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup dan menyelesaikan masalah sosial. Dalam konteks pendidikan, Society 5.0 mendorong integrasi teknologi canggih seperti AI dan IoT untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih personal, efektif, dan relevan dengan kebutuhan masa depan (Cabinet Office, Government of Japan, 2019).
Pendidikan di era Society 5.0 ditandai dengan pergeseran paradigma dari model "one-size-fits-all" menuju pembelajaran yang dipersonalisasi. Teknologi digunakan untuk menganalisis data pembelajaran setiap peserta didik, memungkinkan penyesuaian materi dan metode pembelajaran sesuai dengan kebutuhan individual. Selain itu, pendidikan tidak lagi terbatas pada ruang kelas fisik, tetapi dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja melalui platform pembelajaran digital yang canggih (OECD, 2018).
Era Society 5.0
1. Perkembangan Era Revolusi Industri,
Revolusi industri telah mengalami beberapa fase perkembangan yang signifikan, masing-masing membawa perubahan besar dalam cara manusia hidup dan bekerja. Revolusi Industri 1.0, yang dimulai pada akhir abad ke-18, ditandai dengan mekanisasi produksi menggunakan tenaga air dan uap. Era ini mengubah masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial, memicu urbanisasi besar-besaran dan perubahan sosial yang mendalam. Revolusi Industri 2.0, yang berlangsung di awal abad ke-20, memperkenalkan produksi massal melalui penggunaan listrik dan jalur perakitan. Era ini melihat munculnya konsep manajemen ilmiah dan standardisasi proses produksi, yang secara dramatis meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi (Schwab, 2016). Revolusi industri 3.0 adalah era informasi yang dicirikan oleh kemajuan teknologi komputer dan internet, yang memungkinkan akses luas terhadap informasi dan komunikasi yang cepat. Revolusi industri 4.0 dimana memasuki era teknologi cerdas, penggunaan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan, robotika, dan IoT semakin meluas, memungkinkan integrasi antara dunia fisik dan dunia digital. Pada revolusi industri 5.0 munculah konsep masyarakat sebagai revolusi selanjutnya.
2. Kemunculan Era Society 5.0
Society 5.0 dimunculkan oleh pemerintah Jepang pada tahun 2019 sebagai evolusi alami dari Revolusi Industri 4.0, namun dengan fokus yang berbeda. Jika Revolusi Industri 4.0 berfokus pada transformasi digital dalam industri, Society 5.0 memperluas konsep ini ke seluruh aspek kehidupan masyarakat. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah Jepang sebagai respons terhadap tantangan sosial yang dihadapi negara tersebut, seperti penuaan populasi, penurunan angkatan kerja, dan urbanisasi. Society 5.0 bertujuan untuk menciptakan masyarakat "super-cerdas" di mana teknologi canggih seperti AI, robotika, dan IoT diintegrasikan secara seamless ke dalam kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan kualitas hidup (Fukuyama, 2018).
Pendidikan, Mahasiswa dan Student Government di Era Society 5.0
1. Perkembangan Pendidikan dari Awal Masa Revolusi Industri
Sistem pendidikan telah mengalami evolusi yang signifikan sejalan dengan perkembangan era revolusi industri. Di era 1.0, pendidikan masih sangat terbatas dan sebagian besar berfokus pada pelatihan kejuruan untuk memenuhi kebutuhan industri yang baru muncul. Memasuki era 2.0, pendidikan mulai menjadi lebih terstruktur dan universal, dengan pengenalan pendidikan vokasi dan spesialisasi yang mencerminkan kebutuhan industri yang semakin kompleks. Era 3.0 membawa integrasi teknologi ke dalam pembelajaran, dengan komputer dan internet mulai digunakan sebagai alat bantu pengajaran. Di era 4.0, pendidikan mengalami digitalisasi yang masif, dengan pembelajaran online, mobile learning, dan teknologi adaptif mulai mengubah lanskap pendidikan (Harkins, 2018; Özdemir & Bonk, 2017).
2. Perkembangan Gaya Belajar Mahasiswa yang dipengaruhi Sistem Pendidikan
Gaya belajar mahasiswa telah mengalami transformasi signifikan seiring dengan evolusi sistem pendidikan. Sistem pendidikan dipengaruhi oleh perkembangan revolusi industri. Seiring berjalannya waktu tuntutan pendidikan semakin meningkat mengikuti kebutuhan industri. Peserta didik mmenghabiskan waktu mereka di sekolah untuk memenuhi kompetensi minimum yang harus dicapai, hingga membatasi mereka untuk hidup bersosial. Padahal kompetensi sosial penting untuk dikembangkan. Kompetensi sosial seperti etika komunikasi, sadar akan realitas, pembelaan terhadap hak hak yang ter-eksploitasi ini tak lagi dipedulikan.
Selain kompetensi sosial, peserta didik juga perlu mengembangkan softskill lainnya. Peserta didik seharusnya mampu mengakomodir dirinya untuk terbebas dari belenggu dan merdeka dalam belajar. Peserta didik perlu untuk berkembang di luar sekolah dengan mengeksplorasi potensi diri dan mengupayakannya. Maka penting kiranya sebagai peserta didik terlibat aktif untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi diri selain bidang akademik saja, salah satunya melalui Student Government.
3. Student Government di Era Society 5.0 sebagai Ruang Pengembangan Diri
Student government adalah organisasi mahasiswa yang berfungsi sebagai wadah aspirasi dan advokasi kepentingan mahasiswa di tingkat universitas (Pratama & Hidayat, 2022). Dalam konteks pengembangan diri mahasiswa, student government berperan penting dalam menyediakan ruang bagi mahasiswa untuk mengasah kemampuan berorganisasi, kepemimpinan, dan keterampilan interpersonal melalui berbagai kegiatan kemahasiswaan dan pengabdian masyarakat (Nugroho et al., 2021). Selaras dengan nilai-nilai dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang harus dipenuhi mulai dari pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Dalam tingkat tertinggi menempuh pendidikan, mahasiswa mempunyai peran yang lebih dibanding dengan siswa. Menyambung peran, mahasiswa dikenal mempunyai beberapa peran yang dibebankan, agent of social control, agent of change dan juga iron stock. Kehidupan kampus juga merepresentasikan tentang kehidupan kita di negara, bisa dibilang bahwa kampus merupakan miniatur dari negara. Perbedaan dari seseorang yang melanjutkan pendidikan dan tidak ialah terletak pada peran nya dalam masyarakat dan mengontrol kebijakan yang ada. Seseorang akan hanyut dalam euphoria yang ada tanpa melihat dari sudut pandang lain. Perubahan yang didambakan oleh masyarakat yang tidak mempunyai gelar mahasiswa dalam lingkungan seringkali menjadi PR yang tidak terselesaikan saat mahasiswa itu mengakhiri masa study nya. Peran mahasiswa sebagai agent of change dalam era ini ialah dengan menjadi pendorong hal hal baru, dengan melek teknologi. Dengan kata lain mahasiswa sebagai agent of change ialah menjadi promotor untuk berani menjadi penyuara dari sebuah penyimpangan. Setelah mahasiswa mampu untuk menjadi promotor dalam sosial, maka hal selanjutnya yakni mahasiswa sebagai agent social of control, adalah untuk mengubah tatanan sosial. Namun nyatanya pada era post-Covid ini mahasiswa hanya mampu untuk melakukan control melalui media sosial, tidak terjun langsung seperti generasi sebelum adanya Covid. Sebagai mahasiswa yang memiliki akses lebih mengenai hal hal yang mutakhir, diharapkan menjadi agent social of control yang di era post-Covid. Lalu apa hal konkrit yang mahasiswa implementasikan saat mendapat peran agent social of control sekarang ini? Setelah dibekali dengan materi yang mendalam dan kemampuan dalam kehidupan kampus, dmahasiswa dapat mengimplementasi kan dengan cara membangun kepercayaan dan mengajak individu di luar sana melalui kegiatan di media social. Adanya campaign yang digaungkan dan angapan bahwa jika suatu kasus belum viral maka negara tidak akan mengubahnya. Dalam hal itu, mahasiswa yang berperan dalam agent social of control.
Proses pendewasaan dalam kehidupan kampus mengharuskan mahasiswa berpikir akan realita sosial yang terjadi di lingkungan kemahasiswaan saat ini, mahasiswa diberikan tiga contoh karakteristik mahasiswa berupa mahasiswa akademis, organisatoris dan mahasiswa ideal. Mahasiswa akademisi sering dilakoni sebagai mahasiswa yang sangat aktif di kampus namun kadang tidak terlalu berminat untuk ikut organisasi, artinya mahasiswa dengan tipe ini biasanya hanya berfokus pada pelajaran sesuai dengan jurusan yang diambil. Sementara gelar bagi mahasiswa organisatoris menyandang sebagai mahasiswa yang sangat antusias dan loyal untuk berorganisasi. Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu sangatlah banyak, dan melalui organisasi menjadi salah salah satu cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Apalagi kita tahu bahwa organisasi itu ada banyak sekali dan masing-masing hampir memiliki ajarannya. Artinya tiap organisasi memiliki ciri khas tersendiri dengan bentuk pendidikan kader yang berbeda-beda, Sedangkan mahasiswa ideal adalah mahasiswa yang dapat menyeimbangkan (Balance) dalam hal akademik maupun organisasi mereka sangat aktif dalam pelajaran yang ada di jurusan masing masing tetapi mereka juga dapat berdaptasi di lingkungan organisasi. Mahasiswa ideal mampu beradaptasi dan sadar akan kewajiban sebagai mahasiswa dapat membagi waktu dan juga mengambil peluang dalam organisasi.
Setelah dihadapkan dengan beban tersebut, dalam kampus sendiri mahasiswa dituntut untuk mempelajari dan mengimplementasikannya. Mahasiswa di bangku kuliah mempunyai ruang belajar dalam kelas yang dimana semua teori diberikan dan dibuka secara luas. Didalam kelas, mahasiswa mempunyai hak untuk memperoleh materi yang diberikan oleh dosen dan memiliki kewajiban untuk mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya terhadap dirinya sendiri dan dosen. Ruang belajar juga tidak hanya didalamkelas, dalam ruang ruang diskusi yang diadakan pun menjadi ruang belajar yang lebih dari ruang kelas dan merdeka tetapi terseleksi. Dikatakan begitu dikarenakan banyak organisasi atau perkumpulan yang menyelenggarakannya namun mahasiswa kurang minat bergabung. Sejatinya didalam ruang diskusi itu lah dapat menambah ilmu dan pengalaman sera jejaring relasi yang lebih luas. Ruang organisasi dalam kampus merupakan tempat dimana para mahasiswa bisa mengimplementasikan dan juga mendapatkan ilmu dalam bersosial. Tidak hanya ilmu pasti dan dalam buku saja, namun dalam organisasi juga mengajarkan bagaimana menempuh perkuliahan dan mendapatkan relasi kedepannya.
Ruang organisasi di kampus sangat banyak, dapat dipetakan menjadi 2, yakni organisasi internal dan eksternal. Secara definisi berarti organisasi internal merupakan organisasi yang berada di dalam kampus dan organisasi eksternal yaitu suatu organisasi yang berada di luar kampus. Organisasi internal merupakan suatu organisasi yang dimana secara kepengurusannya di pegang oleh mahasiswa dalam satu prodi yang sama atau fakultas yang sama. Maka, organisasi eksternal merupakan organisasi yang bisa diikuti oleh semua mahasiswa dalam tingkat satu universitas. organisasi internal dengan contoh Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS), Dewan Mahasiswa (DEMA) dan juga Senat Mahasiswa (SEMA) yang terbagi dalam tingkatan Fakultas dan Universitas. Jika berbicara organisasi eksternal, tentunya ada banyak kelompoknya, sebut saja PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dan lain sebagainya. Mengikuti organisasi atau menjadi mahasiswa dengan capaian tertrentu merupakan pilihan yang dapat diambil oleh mahasiswa, namun apa yang dipilih sekarang akan sedikit banyak berperan dalam kehidupan di masa mendatang
Problem dan Tantangan Era Society 5.0
1. Problem dan Tantangan Pendidikan di Era Society 5.0
Pendidikan di era 5.0 adalah pendidikan yang harus mengikuti tren teknologi dan mengimplementasikan nya kepada siswa untuk beradaptasi dengan perubahan yang cepat dan terus menerus. Menyingkronkan pendidikan dan Industri serta penggunaan teknologi sebagai alat kegiatan belajar mengajar. Pendidikan harus memberikan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan siswa untuk memahami dan menggunakan teknologi digital, termasuk pemprograman, desain grafis, pengembangan aplikasi, dan analisis data. Pendidikan di era Society 5.0 juga harus mampu mengintegrasikan teknologi dalam proses pembelajaran, baik sebagai media, sumber, maupun alat evaluasi. Teknologi dapat membantu peserta didik dalam mengakses informasi yang luas dan relevan, berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dan budaya, serta menunjukkan hasil belajar mereka secara inovatif dan menarik.
Pendidikan di era Society 5.0 menghadapi berbagai problem dan tantangan yang kompleks. Kesenjangan digital dan akses teknologi menjadi isu yang semakin mengemuka, dengan tidak semua mahasiswa dan institusi pendidikan memiliki akses yang sama terhadap teknologi canggih. Kebutuhan akan pengembangan kurikulum yang adaptif menjadi semakin mendesak, mengingat perkembangan teknologi dan kebutuhan industri yang cepat berubah. Pentingnya pendidikan karakter di tengah kemajuan teknologi menjadi tantangan tersendiri, mengingat perlunya menyeimbangkan keterampilan teknis dengan pengembangan nilai-nilai etika dan empati. Kebutuhan akan pengembangan profesional berkelanjutan bagi pendidik juga menjadi semakin penting, mengingat perlunya para pendidik untuk terus memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka dalam memanfaatkan teknologi baru. Terakhir, tantangan keamanan data dan privasi dalam pembelajaran digital perlu diatasi, mengingat semakin banyaknya data pendidikan yang dikumpulkan dan dianalisis (UNESCO, 2019; Gleason, 2018; Williamson, 2017).
2. Posisi Mahasiswa dan Peran Student Government dalam Pendidikan di Era Society 5.0
Dalam era Society 5.0, mahasiswa diposisikan sebagai co-creator dalam proses pembelajaran, tidak lagi sekadar penerima pasif pengetahuan tetapi aktif terlibat dalam merancang dan mengarahkan pengalaman belajar mereka sendiri. Student government berperan sebagai fasilitator inovasi pendidikan, membuka peluang untuk pengembangan diri yang lebih terbuka, inovatif, dan kolaboratif. Dengan ketersediaan ruang untuk pengembangan diri yang lebih baik, student government menawarkan proses yang komprehensif bagi mahasiswa untuk kembali mengenal potensi diri dan berupaya mengembangkannya, menjadi manusia merdeka. Terakhir, student government berperan sebagai promotor pembelajaran sepanjang hayat, mengingat kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi menjadi kunci kesuksesan dalam era perubahan yang cepat (World Economic Forum, 2020; Klemenčič, 2020; Fisk, 2017).